Tirakat Bung Karno di Pulau Bunga (flores)


Empat tahun masa pembuangan Bung Karno di Ende, Pulau Flores (1934 – 1938) bisa disebut sebagai masa tirakat. Apa itu tirakat? Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah tirakat yang bermaksud mendekatkan diri kepada tuhan, berupa perilaku, hati, dan pikiran. Tirakat adalah bentuk upaya spiritual seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan jalan mendekatkan diri kepada tuhan.
Ritual orang bertirakat ada bermacam-macam. Penganut Kejawen misalnya, biasa melakukannya dengan bersemedhi atau bertapa-brata. Bagi orang muslim, berpuasa juga salah satu bentuk tirakat. Bisa juga dalam bentuk lain lagi, sepanjang diniatkan sebagai upaya spiritual, bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan fokus menjaga hubungan vertikal yang intens antara kita dan Yang Di Atas.
Flores… berarti bunga. Pulau Flores juga disebut Pulau Bunga. Mungkin karena di pulau ini banyak tumbuh bunga-bunga cantik. Bagi Sukarno. masa-masa pembuangan di Ende adalah masa-masa bertirakat. Ia melewatkan waktu-waktunya dengan membaca, bersosialisasi, dan… bertirakat.
Komunikasi dengan pihak luar, banyak ia lakukan dengan surat-menyurat. Salah satu yang terukir dalam sejarah hidupnya adalah surat-menyurat seputar kajian Islam dengan gurunya di Bandung, Tuan A. Hassan. Di luar itu, Bung Karno banyak bertafakur di ruang shalat, sekaligus ruang semedhi. Ia bisa duduk berjam-jam di tempat itu.
Selepas ashar, Bung Karno biasanya berjalan kaki kurang lebih satu kilometer mengarah ke pantai. Di bawah pohon sukun, Bung Karno duduk. Sikapnya diam. Mulutnya terkunci. Tatapannya menerawang. Otaknya berkecamuk tentang banyak hal. Salah satunya adalah merenungkan ideologi bangsa, ketika kemerdekaan diraih kelak.
Tercatat tanggal 18 Oktober 1938 Bung Karno meninggalkan Ende, menuju tempat buangan baru di Bengkulu. Praktis sejak itu, Bung Karno tak lagi menginjakkan kakinya di Ende. Kelak, 12 tahun setelahnya, persisnya tahun 1950, ya… lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, barulah Bung Karno kembali ke Ende. Bukan sebagai orang interniran atau buangan, melainkan sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi.
Ketika itulah, Bung Karno kembali bernostalgia ke tempat buangannya dulu, dan meresmikan rumah yang dulunya milik H. Abdullah Ambuwaru itu sebagai situs bersejarah. Dalam kesempatan itu pula Bung Karno menunjuk pohon sukun tempat ia belasan tahun sebelumnya acap duduk di bawahnya, merenungkan banyak hal, satu di antaranya adalah butir-butir Pancasila. Yang menarik adalah, pohon sukun itu bercabang lima.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1960, pohon sukun itu mati. Oleh pemerintah daerah setempat, segera ditanam pohon sukun yang baru. Apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Pohon itu tumbuh subur, dan… (tetap) bercabang lima. Pohon itu masih berdiri hingga hari ini.

Soekarno Kecil



Sukarno alias Kusno kecil, bukanlah seorang anak yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kaya secara materi. Ayahnya seorang guru, hidupnya sangat sederhana. Seisi rumah, tanpa kecuali, wajib mengambil peran masing-masing dalam keluarga. Tak ayal jika terkuak sebuah kisah, ayah Bung Karno, R. Soekeni Sosrodihardjo begitu murka saat melihat Bung Karno kecil begitu gemar bermain tak kenal waktu.
Pantat Bung Karno jadi sasaran sabetan dan tabokan tangan sang ayah, manakala ia bandel. Usai “dihajar”, seperti biasa… ia akan menghambur ke pangkuan ibunya, menangis. Sang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, dengan lembut akan mengelus-elus kepala dan punggungnya. Membujuk-bujuk dengan suara lembut agar Kusno tenang hatinya, dan berhenti menangis. Dengan iming-iming akan didongengi, Bung Karno kembali bisa tersenyum lebar, hingga tampak gigi gingsulnya yang membuat hati sang bunda sumringah.
Saat usia belum genap delapan tahun, Bung Karno sudah mulai mengerti tanggung jawab. Ia pun mulai giat membantu keluarga, bahkan ikut menumbuk padi, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain, seperti juga mbakyunya, Sukarmini.
Sebuah suratkabar pernah lawas, Sin Po menulis panjang lebar sebuah wawancara dengan Idayu. Di situ, sang bunda bertutur tentang masa kecil putranya, yang kemudian tumbuh menjadi seorang patriot bangsa, berjasa memerdekakan bangsanya dari penjajah, hingga akhirnya menduduki tahta kepresidenan.
Idayu berkisah kebiasaan Bung Karno kecil yang setiap sarapan senantiasa dengan menu yang tidak banyak berubah, jenang katul. Ini makanan tradisional yang sesungguhnya sangat enak dan bergizi. Bekatul, adalah bagian terluar dari bulir padi. Ia begitu lembut, sehingga cocok dijadikan jenang. Dari penelitian, bekatul yang termasuk jenis sereal itu, mengandung vitamin B15 yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kinerja organ tubuh. Sesekali, selain jenang katul, Bung Karno juga menyantap pisang rebus.
Bila matahari telah bersarang di peraduan, dan tiba saatnya Bung Karno tidur, sang bunda dengan penuh kasih sayang akan ngeloni Bung Karno. Saat-saat itu, dikenang Bung Karno sebagai saat-saat paling menyenangkan. Sang bunda akan menceritakan cerita-cerita ephos Mahabharata dan Ramayana ke dalam cuplikan-cuplikan cerita pewayangan. Jika kita ikuti pidato-pidato Bung Karno di kemudian hari, pahamlah kita, mengapa Bung Karno sering mengutip cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana.
Selain kisah pewayangan, sang Ibu juga acap menceritakan kebesaran pejuang-pejuang Nusantara. Mulai dari Patih Gajahmada, Sriwijaya, dan kisah-kisah kepahlawanan dari belahan daerah lain di Nusantara. Setiap ibunda mendongeng, Bung Karno akan menyimak dengan sangat serius, merekamnya dalam memori terdalam.
Idayu dan Soekeni, sangat menekankan pendidikan budi pekerti. Bukan saja tuturan oral laiknya sang guru, sang ayah juga mencontohkannya dalam perikehidupan sehari-hari. Sang ayah menggadang-gadang putranya menjadi “manusia utama”. “Dadiyo wong sing utomo,” (jadilah manusia utama)  itu nasihat para sesepuh zaman dulu.

Wayang dan Hewan dalam Pidato Bung Karno


Bung Karno dan Massa
Dai Nippon Teikoku, begitu istilah yang digunakan untuk menyebut pemerintahan kolonial Jepang. Meski seumur jagung ibaratnya, tapi kesadisannya membekas hingga kini. Saat posisinya terdesak Sekutu, Jepang menghasut rakyat Indonesia untuk mendukungnya. Caranya? Lagi-lagi Sukarno, ahli sihir massa yang dipakai Jepang dengan pidato-pidatonya.
Sukarno menurut. Ia pun berkeliling Indonesia, berpidato mengobarkan semangat rakyat agar anti-Sekutu, dan mendukung Jepang melawan Sekutu.
Jepang tidak sadar, bahwa 75 persen isi pidato Bung Karno sejatinya adalah penanaman kesadaran nasional bangsanya. Contoh kecil, dalam sebuah pidato ia menunjuk seorang prajurit Jepang yang sedang mengawal dengan senapan dan sangkur. “Lihat, dia menjalankan tugasnya oleh karena dia cinta kepada tanah airnya. Dia berperang untuk bangsanya. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah airnya. Begitupun… kita… harus !!!”
Kali lain, ia menukil jalannya sejarah dalam pidato-pidatonya. “Kerajaan Majapahit memperoleh kemenangan gilang-gemilang setelah digembleng penderitaan dalam peperangan-peperangan melawan Kubilai Khan. Sultan Agung Hanyokrokusumo membikin negara Mataram menjadi negara yang kuat setelah mengalami cobaan-cobaan dalam perang Senopati. Dan orang Islam di zaman keemasannya barulah menjadi kuat setelah mengalami Perang Salib. Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam Alquran: ‘Ada masa-masa di mana kesukaranmu sangat berguna dan perlu’.”
Sekalipun dalam setiap pidato ia diawasi ketat tentara Jepang, tetapi Bung Karno tidak pernah kurang akal dalam menyelipkan pesan-pesan kebangsaan dan pesan-pesan persatuan melalui kiasan-kiasan yang tidak dimengerti orang Jepang, sekalipun ia bisa berbahasa Indonesia. Kiasan yang acap digunakan Sukarno, antara lain diambil dari dunia wayang dan hewan. Menurut Sukarno, cara itu justru cepat diserap nalar rakyat jelata sekalipun.
Rakyat tahu bahwa Arjuna adalah pahlawan Pandawa Lima yang negaranya direbut secara licik oleh Kurawa. Dalam perang dahsyat Mahabharata, Pandawa Lima akhirnya berhasil membinasakan Kurawa yang bathil. Dengan sedikit saja kiasan, rakyat sadar, negaranya sedang dijajah “Kurawa”, karenanya harus direbut melalui perang akbar, bila perlu.
Untuk melukiskan tokoh-tokoh, kembali Sukarno menggunakan ksatria-ksatria dunia wayang. Arjuna dilambangkan sebagai pengendalian diri-sendiri. Saudaranya, Werkudara, melambangkan seseorang yang teguh berpegang kepada kebenaran. Sebutlah Gatotkaca, maka serta-merta orang akan teringat kepada Sukarno. Sebaliknya, kalau Bung Karno menyebut Buta Cakil, sadarlah rakyat tentang siapa yang dimaksud, karena Buta Cakil adalah perlambang raksasa yang jahat.
Selain wayang, Bung Karno menggunakan perlambang hewan. Melalui tulisan maupun pidato, Bung Karno melahirkan kiasan-kiasan yang melegenda. Salah satunya ini: “Di bawah Matahari-Terbit, manakala Liong Barongsai dari Tiongkok bekerjasama dengan Gajah-Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina, dengan Burung Merak dari Burma, dengan Lembu Nandi dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan sekarang… dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hancur-lebur dari permukaan benua kita!”
Kalimat itu pada masanya, sangat mudah dicerna. Maksudnya ialah, bahwa daerah-daerah yang diduduki tadi bersatu dalam tekad untuk melenyapkan agresi.
Dengan idiom dan kiasan itu, Jepang sungguh tidak sadar. Sebaliknya, Jenderal Imamura, penguasa Jepang di Indonesia begitu menyenangi kepandaian Sukarno berpidato. Dan Sukarno jauh lebih senang. Karena dengan begitu, ia bisa berpidato di hadapan 60.000 orang pada satu rapat akbar, dan 100.000 orang lainnya dalam rapat yang lain lagi. Dan… lebih dari itu, tidak hanya nama Sukarno, melainkan wajah Sukarno yang sudah menjalar ke seluruh pelosok kepulauan Indonesia. “Untuk itu, aku harus berterima kasih kepada Jepang…,” katanya.

Kisah Bung Karno Melamar Inggit


Ada begitu banyak bunga bermekaran di taman Kota Kembang, tapi hanya satu yang memikat hati Sukarno muda. Dialah Inggit Garnasih. Tidak soal ihwal rentang usia selusin antara keduanya. Tidak soal, bahwa tentang beda usia itu, Bung Karno terpaksa harus mengecilkan bilangannya saat pergi melamar Inggit.
Betapa tidak. Lamaran Bung Karno terhadap Inggit, tidak serta-merta diterima. Atas lamaran Bung Karno, ayahanda Inggit menjawab, “Wahai orang muda, kau adalah keturunan bangsawan, dan dirimu adalah seorang terpelajar. Di sini dan di mana-mana ada banyak gadis hartawan dan terpelajar yang siap untuk menjadi pasanganmu….”
Diam Sukarno.
“… Kami adalah keluarga miskin, anakku Inggit sudah janda; lagi pula tidak terpelajar, tidak sepadan untuk menjadi istrimu. Dan terus terang, saya khawatir, sebagaimana yang lazim terjadi, perjodohan yang demikian tidak akan panjang….”
Takzim Sukarno mendengarkan.
“…karena ada saja yang membuat kau malu. Ada saja yang akan membikin anakku sakit hati.”
Waktu bergulir… menguasai ruang dan waktu. Hanya diam dan sunyi untuk sementara waktu. Bung Karno harus segera menanggapi kata-kata calon mertuanya. Ia pun menarik napas panjang sebelum mengeluarkan tanggapan….
“Bapak, semua itu sudah saya ketahui lebih dulu, dan saya tambahkan bahwa saya pun sudah tahu bahwa Inggit lebih tua lima tahun dari saya….” (Lihat bagaimana Sukarno mengecil-ngecilkan bilangan selisih usianya dengan Inggit, demi lebih meyakinkan calon mertuanya)… “Apakah niat saya kurang suci, walau sudah saya tahu keadaan semua itu, kemudian saya pikirkan dan akhirnya melamar dengan sadar?”
Ayah Inggit diam, mendengarkan si muda bicara.
“Bapak, karena itu saya datang melamar dengan harapan Bapak mempertimbangkannya.”
Ayah Inggit menatap tajam ke arah mata Sukarno ketika bicara. Dari sana ia menangkap ketulusan niat Sukarno. Dari sorot matanya Sukarno memancarkan keseriusannya. Maka… luluhlah hati calon mertua, dan akhirnya lamaran pun diterima.
Sementara kepada bapak-ibunya, Sukarno pun sudah menyampaikan niatnya melamar Inggit. Dan Soekeni, ayahanda Bung Karno dalam surat jawabannya menuliskan, “Ayah dan ibumu tidak merasa keberatan. Urusan itu terserah pada dirimu sendiri. Kami cuma mengharapkan, pengalamanmu yang sudah-sudah akan menjadi pelajaran bagimu.”

Keajaiban Pidato Bung Karno

Pidato BK

Berkisah tentang kehebatan Bung Karno berpidato, seperti menguras sebuah samudera. Bombastis? Baiklah, seperti menguras sumur tua. Sumber airnya terus mengucur, sekalipun sudah dikuras. Semua kisah itulah kiranya, yang lantas menasbihkannya menjadi Singa Podium. Semua kisah itu yang menobatkannya menjadi orator ulung.
Terlebih sekeluarnya dari penjara Sukamiskin tahun 30-an, Sukarno menjadi lebih matang. Bung Karno menjadi rajin keliling berbagai daerah untuk membakar semangat rakyat. Dari sanalah lahir cerita-cerita menarik yang berhubungan dengan pidato-pidatonya.
Yang merepotkan adalah di saat musim hujan. Karena sulitnya medan, tidak jarang Bung Karno baru tiba di tempat rapat umum pukul 15.00, meski rapat itu dijadwalkan berlangsung pukul 09.00, dan akibatnya massa sudah bercerai-berai. Akan tetapi, ketika melihat Sukarno datang, dalam sekejap massa sudah menyemut di depan podium.
Meski hujan terus mengguyur, Bung Karno tetap berpidato. Massa berpayung daun pisang, juga tak beranjak dari tempatnya berdiri. Tidak lama kemudian, air pun menembus jas hujan Bung Karno, sehingga ia basah kuyup. Daun-daun pisang pun koyak, sehingga massa pun kebasahan. Derasnya hujan, membuat mereka sesekali menyeka air dari wajah-wajah yang tetap menengadah menyimak pidato Bung Karno.
Kalau sudah begitu, Bung Karno akan berujar, “Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita, bagaimana kalau kita menyanyi bersama-sama?” Alhasil, di sela-sela petir yang menggemuruh, terdengarlah satu suara mengikuti Bung Karno menyanyi. Disusul, sepuluh orang menyanyi. Lalu, seratus orang ikut menyanyi. Tidak lama kemudian, menggemalah 20.000 suara menjadi satu paduan lagu gembira. Bung Karno sadar betul, tembang daerah bisa menyatukan rakyat sangat erat, lebih erat dari rantai besi sekalipun.
Hingga hujan reda, dan Bung Karno mengakhiri pidatonya, tak satu pun orang bergeser dari tempatnya berdiri. Salah seorang pengikut Bung Karno berkomentar, “Ini adalah suatu kejadian yang tidak dapat dilakukan oleh orang semata-mata. Bakat yang demikian itu terletak antara Bung dan alam.”
Kali berikutnya, Bung Karno berpidato di Solo, di mana putri-putri keraton yang cantik- cantik keluar dari pingitan hanya untuk mendengarkan pidatonya. Bahkan salah seorang yang sedang hamil tua menepuk-nepuk perutnya berkali-kali sambil menggumamkan kata, “Saya ingin seorang anak seperti Sukarno.” Di tengah pidato, mendadak muncul ide dadakan Sukarno. Ia melepas pecinya, dan menyerahkan kepada salah satu putri keraton untuk berkeliling mengumpulkan uang untuk pergerakan.
Tidak berhenti sampai di situ. Kisah lain lebih bernuansa tragi-komedi, ya tragis, ya komedis. Kisah terjadi di Gresik, Jawa Timur. Di tengah kerumunan massa, tampak seorang pejabat kolonial yang kebetulan keturunan pribumi. Ia harus memantau kegiatan pidato Sukarno, dan harus membuat laporan tertulis kepada pemerintah Hindia Belanda.
Pejabat kolonial keturunan pribumi yang disebut “patih” oleh Sukarno itu, tampak tekun dan khidmat mengikuti orasi Bung Karno. Ekspresinya sangat serius, seperti menyimak kata demi kata dengan hati. Dan, manakala meledak tempik-sorak massa, ia pun spontan bersorak dan bertepuk tangan penuh semangat, lupa akan baju seragam kolonial yang dipakainya.
Celaka duabelas… tidak jauh dari kerumunan massa, hadir juga Van der Plas, Direktur Urusan Bumiputera. Lebih apes lagi, Van der Plas melihat dengan mata kepala sendiri, anak buahnya ikut bersorak-sorak dan bertepuk tangan mendengarkan pidato Bung Karno. Kisah selanjutnya bisa Anda tebak, ia langsung dipecat.

Bung Karno tiga kali di bunuh!!


Sosok Bung Karno masih saja menyisakan banyak cerita dan pertanyaan menarik. Semua ini tak lepas dari besarnya jasa beliau pada negeara Indonesia. Dan saya yakin, sampai kapanpun beliau senantiasa terngiang dalam ingatan anak bangsa, lantaran perjuangan beliau dan kawan-kawannya, kemerdekaan bangsa Indonesia bisa diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 . Sejarah dan perjuangan beliau akan selalu menginpirasi anak bangsa untuk terus menjaga dan mengisi kemerdekaan yang dulu diperjuangkan mati-matian oleh para pahlawan. Kemerdekaan merupakan nikmat besar yang tak terbandingkan dengan apapun. Apalah arti hidup sebagai bangsa yang bernegara, jika kita masih terkekang dan terintimedasi oleh negara asing.

Mengingat kembali tentang sejarah proklamator kemerdekaan menjadi sesuatu yang niscaya dalam membangun masa depan Indonesia. Pada hakikatnya masa lalu, kini dan akan datang, senantiasa memiliki kaitan yang erat. Kemerdekaan yang kita rasakan saat ini adalah keringat dan darah perjuangan para pahlawan.

Sejarah masa silam merupakan kekayaan bangsa yang tidak boleh dilupakan, apalagi disesatkan. Dari sejarah kita kan banyak tahu tentang arti sebuah perjuangan. Namun beda dengan yang terjadi pada Bung Karno, banyak sejarah yang menceritakan tentang beliau tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sejarah perjuangan beliau banyak disesatkan oleh para sejarawan, terlebih pada masa rezim Orde Baru.

Rezim Orde Baru banyak melakukan penyesatan terhadap sejarah beliau dalam upaya melanggengkan kekuasaan yang dipimpinnya. Soeharto dan kawan-kawan sengaja melakukan hal ini agar memory kolektif masyarakat merekam sejarah negatif tentang Bung Karno. Bahkan bukan saja sejarah beliau yang disesatkan, hampir seluruh sejarah kebangkitan nasional pada masa rezimnya banyak dilakukan pembengkokan dengan menggantikan dirinya sebagai aktor utama segala perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia.

Terkait tentang sejarah Bung Karno, sejarawan Asvi Warman Adam menulis buku, Bung Karno Dibunuh Tiga kali. Buku ini mengungkap pembengkokan dan penyesatan sejarah yang terjadi terhadap Bapak Bangsa Indonesia. Ada tiga penyesatan yang telah diungkap oleh penulis, penyesatan ini dibahasakan dalam bentuk pembunuhan.

Pembunuhan pertama, Bung Karno sengaja ditelantarkan saat beliau sakit dengan tidak ditebusnya resep obat yang ditulis oleh dr. Mahar Marjdono. Resep tersebut hanya ditaruh dalam laci. Bung Karno sengaja dibiarkan tidak mendapat obat dan perawatan intensif, agar ia segera menemui ajalnya. Penelantaran ini merupakan dusta besar yang telah berakibat pada kematian bapak proklamator bangsa Indonesia.


Pembunuhan kedua terhadap Bung Karno dilakukan oleh Rezim Orde Baru dalam penyesatan sejarah, bahwa Bung Karno bukan orang yang pertama merumuskan Pancasila, hal ini pernah disampaikan oleh Nugroho Natosusanto. Bahkan pada tanggal 1 Juni 1970 peringatan terhadap hari lahir Pancasila dilarang Kopkamtib. Itulah sebabnya Jacques Leclerc seorang sejarawan Prancis menyebutnya bahwa Bung Karno hakikatnya telah dibunuh dua kali, secara lahiriah dan batiniah.


Sisa-sisa penyesatan sejarah yang dilakukan rezim orde baru tehadap Bung Karno tidak berkhir dengan tumbangnya Soeharto pada tahun 1998. Di era reformasi ini dengan kebebasan berpendapat yang tak terkendali, masih saja penyesatan tersebut terjadi. Buku Sukarno File, Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967 yang diluncurka di Jakarta pada tanggal 17 November 2005. Penulis buku teresbut, Antonei C.A. Dake menyatakan dalam bukunya bahwa Presiden pertama Indonesia merupakan dalang utama atas tragedi G30S/1965. Pernyataan ini secara tidak langsung menganggap Soekarno sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas terbunuhnya enam jendral dan pembantaian antarkomunis dan non-komunis.

Peluncuran buku penyesatan tersebut beberapa hari kemudian ditanggapi oleh Putri Soekarno—Megawati—sebagai “character assasination” atau pembunuhan karakter. Inilah pembunuhan ketiga yang dimaksud oleh Asvi Warman Adam dalam bukunya Bung Karno Dibunuh Tiga Kali. Tragedi pembunuhan tiga kali yang dilakukan secara sengaja kepada Soekarno adalah tragedi mengenaskan anak bangsa Indonesia. Bagaimanapun tragedi bungkarno adalah tragedi bangsa Indonesia. Maka penting kemudian penyesatan sejarah ini duluruskan agar citra Bapak Bangsa tidak ternodai. Kita tidak akan rela jika anak cucu kita dimasa mendatang dijejali dengan sejarah yang tidak benar dan tak jelas sumbernya.

Meski sudah banyak buku sejarah tentang Bung Karno, buku ini tetap menarik, sebab kebanyakan buku tentang Soekarno hanya berupa biografi datar, tanpa study kritis terhadap berbagai sumber yang dijadikan rujukaannya. Beda dengan buku yang ditulis Asvi Warman Adam, buku ini secara kritis menela’ah sejarah Bung Karno secara utuh. Asvi dapat menemukan celah yang belum terlihat oleh penulis lain, sehingga ketimpangan sejarah yang terjadi dimasa orde baru sampai era reformasi ini dapat diluruskan. Dalam buku ini Asvi lebih banyak menceritakan tentang jasa dan perjuangan Bung Karno, mulai dari saat beliau naik kepermukaan publik memperjuangkan kemerdekaan RI sampai beliau menjadi pimpinan Negara, dan kemudian dijatuhkan karena kepentingan politik Soeharto. Pristiwa ini sering disebut creeping coup (kudeta merangkak), dimana kemudian Soeharto menggantikan kedudukannya sebagai presiden RI.

Pelulurusan sejarah Bung Karno yang dilakukan oleh Asvi, penting kita baca, sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan bangsa Indonesia. Agar kita dapat mengingat jasa perjuangan beliau dan terinspirasi untuk melakukan perbaikan tatanan bangsa, demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Bagaimanapun Bung Karno adalah Bapak Bangsa, sekaligus proklamator kemerdekaan Indonesia, yang mesti diteladani.




Budaya Indonesia yang Diakui Sebagai Warisan Budaya Dunia

UNESCO secara resmi memasukkan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia bukan benda (intangible heritage) asli dari Indonesia. Sebelumnya UNESCO telah memasukkan wayang kulit dan keris sebagai warisan budaya dunia bukan benda asal Indonesia. Yang dimaksud budaya tak benda oleh UNESCO terdiri dari budaya lisan, cerita, termasuk bahasa, seni pentas, tari, wayang, adat istiadat kebudayaan masyarakat, kerajinan tradisional, dan semua benda yang terkait dengan lingkungan alam tersebut. Sementara budaya benda terdiri dari monumen, candi, pemandangan alam, dan sebagainya.

Berikut warisan budaya dunia bukan benda asal Indonesia yang telah diakui UNESCO:


Wayang

Wayang diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya bangsa Indonesia pada tahun 2003. Wayang sebagai "Karya Agung Budaya Dunia" yang diakui oleh UNESCO bukan hanya wayang Jawa tapi wayang Indonesia, termasuk wayang Bali, wayang golek Sunda, wayang Lombok, dll. Tapi wayang yang lebih dikenal di Indonesia adalah wayang kulit Jawa. Wayang Kulit terbuat dari kulit hewan biasanya Sapi, Lembu, Kambing. Bentuk wayang sangat menarik dengan melihat keindahan artistik pahatan dan pewarnaan sang wayang. Cerita-cerita yang dimainkan berkisah tentang dewa-dewi, persilatan, percintaan dan kepahlawanan yang pertunjukkannya selalu diiringi dengan musik gamelan. Sang dalang dalam pertunjukan wayang sangat pandai membawa suasana emosi penonton mulai dari serunya peperangan sampai cerita lucu yang dibawakan sang dalang sampai membuat penonton tertawa. Tahun 1950-1960-an adalah puncak kejayaan wayang yang diakui para peneliti Barat, Boas sebagai seni pertunjukan terindah di dunia.


Keris

UNESCO menyatakan Keris sebagai “Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” pada tanggal 25 November 2005. Keris merupakan senjata tradisional Indonesia yang diyakini mengandung kekuatan supranatural. Raja-raja di nusantara menjadikan keris menjadi senjata pusaka. Keris telah digunakan sejak abad ke-9 dibuat dengan logam dan gagangnya dibuat dari tulang, tanduk atau kayu. Keris dibuat dari logam yang berkualitas. Keris Kuno bahkan logamnya berasal dari meteor yang jatuh ke bumi. Para Peneliti menyebut bahwa keris kuno mengandung unsur logam titanium suatu bahan yang baru pada abad 20 digunakan sebagai bahan pelapis kendaraan angkasa luar, tapi ternyata para Mpu pembuat keris telah menemukannya terlebih dahulu sebagai bahan pembuat keris.


Batik

Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia (World Heritage). Batik dihasilkan dengan proses penulisan gambar atau ragam hias pada media apapun dengan menggunakan lilin panas dengan menggunakan canting. Batik biasanya digambar pada kain katun dan sutra. Kesenian batik telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya.
Menurut Prof. Yohanes Surya, PhD, ahli fisika Indonesia, Batik adalah lukisan tentang alam dan dinamikanya. Berbeda dengan para pelukis naturalis yang melukis alam persis seperti apa yang dilihatnya, para pencipta batik melukis alam dari sisi yang lebih dalam. Pencipta batik mencari pola dasar dari suatu fenomena yang dilihatnya itu. Dari pola dasar ini ditambah dengan beberapa aturan sederhana, pencipta batik dapat menghasilkan lukisan batik. Butuh suatu kejeniusan untuk melihat pola dasar dan mencari aturan ini.

Batik Sebuah Warisan Budaya Dunia


 
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing.
Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.


Etimologi
Kata “batik” berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: “amba”, yang bermakna “menulis” dan “titik” yang bermakna “titik”.


Sejarah teknik batik
Gambar 2. Tekstil batik dari Niya (Cekungan Tarim), Tiongkok

Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.
Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.
G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.


Budaya batik
Gambar 3.  R.A. Kartini dan suaminya memakai rok batik. Batik motif parang yang dipakai Kartini adalah pola untuk para bangsawan

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Batik Cirebon bermotif mahluk laut
Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.
Batik dipakai untuk membungkus seluruh tubuh oleh penari Tari Bedhoyo Ketawang di keraton jawa.


Corak batik
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.
Gambar4 . Batik Cirebon bermotif mahluk laut


Baju Batik di Indonesia
Pada awalnya baju batik kerap dikenakan pada acara acara resmi untuk menggantikan jas. Tetapi dalam perkembangannya apda masa Orde Baru baju batik juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa sekolah dan pegawai negeri (batik Korpri) yang menggunakan seragam batik pada hari Jumat. Perkembangan selanjutnya batik mulai bergeser menjadi pakaian sehari-hari terutama digunakan oleh kaum wanita. Pegawai swasta biasanya memakai batik pada hari kamis atau jumat.
Gambar 5. Batik dipakai untuk membungkus seluruh tubuh oleh penari Tari Bedhoyo Ketawang di keraton jawa.

Cara pembuatan
Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.


Jenis Batik
Menurut Teknik
* Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
* Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
Gambar 6. Pembuatan batik cap
* batik saring,
* batik celup,
* batik terap.


Menurut asal pembuatan
Batik Jawa
Batik Jawa adalah sebuah warisan kesenian budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun temurun. Batik Jawa mempunya motif-motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarnakan motif-motif itu mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka, yaitu penganut agama animisme, dinamisme atau Hindu dan Buddha. Batik jawa banyak berkembang di daerah Solo atau yang biasa disebut dengan batik Solo.
Gambar 7. Batik Tiga Negeri

.

Gambar 8. Batik Jawa Hokokai 1942-1945

.

Gambar 9. Batik Buketan asal Pekalongan dengan desain pengaruh Eropa

.

Gambar 10. Batik Buketan

.
Gambar 11. Batik Lasem


Keris, Sebagai Panduan Hidup Berbudi Luhur

Dibalik keris terkandung nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan, dan yang harus tidak terbuang oleh hiruk-pikuknya orang mencintai keris (komunitas). Pembacaan nilai-nilai itu telah sangat sering diutarakan dan dituliskan, namun justru sangat terlihat komunitas keris lebih suka mengabaikannya dan bergaul dengan trend-trend seni bentuk dan rupanya saja.

Pada saat keris mendapat penghargaan UNESCO, maka semaraklah berdiri paguyuban-paguyuban. Sebagai kekuatan moral bangsa, paguyuban adalah ”pilar-pilar kebudayaan” yang harus dipertahankan, karena selain tradisional, wadah seperti ini sangat fleksibel untuk berkegiatan. Maka kesinambungan mempertahankan nilai luhur keris harus dimulai dari sini, selain itu dibutuhkan ruang publik yang lebih terbuka seperti dilakukan pula penerbitan-penerbitan buku dan seminar-seminar.

Walau demikian, nilai-nilai luhur keris ini pun sering lepas dan tidak terhayati dengan baik oleh komunitas, karena justru essensi traditif dari keris sering memisah bagai minyak dan air. Keluhurannya terkalahkan oleh berbagai kepentingan, baik itu masalah gengsi, iri hati, perdagangan dan banyak lagi. Jika ditelisik justru di dalam paguyuban terjadilah saling gontok, hasut menghasut bahkan hingga terjadi karakter assasination, korbannya justru biasanya aktivis yang lurus dan sangat berharga untuk kegiatan pelestarian. Primordialisme semacam ini memang wajar karena mayoritas dalam komunitas keris masih terdominasi oleh kalangan tak berpendidikan, atau setidaknya kurang memahami nilai luhur keris oleh sebab keris dipandang sebagai benda asset komoditi antik yang menguntungkan. Persaingan dagang dan harga diri sering tak dapat dikendalikan dengan baik. Tak heran jika pada satu kota berdiri 3 – 4 paguyuban yang kemudian juga seperti terbenam tanpa kegiatan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam keris sangatlah dapat untuk menjadi tuntunan bagi kehidupan. Melalui renstra (program kerja strategis) SNKI pada kepimpinan masa mendatang, semoga saja disadari mulai menjamah nilai-nilai keutamaan untuk berbudi luhur agar disosialisasikan baik kepada anggotanya (intern paguyuban) menjadi suri tauladan keluar. Karena jika hal ini dikaji dan digalakkan maka sebagai penggemar keris tentunya dapat memberikan sumbangsih kepada negara setidaknya dengan memberikan ketauladanan yang dapat diambil dari nilai luhur keris.

Keris mengandung ajaran dalam simbol-simbol
Keris sebagai sebuah karya merupakan penggambaran dari simbol-simbol yang merupakan kaca benggala pola tatanan hidup dan pemahaman Ketuhanan. Bentuk dhapur yang berbagai jenis adalah pengejawantahan pesan tentang apa yang dapat dihayati sebagai hasil dari penghayatan maguru alam. Dhapur atau bentuk keris yang condong (condong leleh) sebagai penggambaran manusia yang membungkukkan badannya - manembah (menyembah kepada Tuhan YME). Bentuk lurus merupakan sebuah tuntunan untuk bertakwa kepada Tuhan serta bentuk berlekuk atau keluk seperti asap dupa yang berkeluk-keluk menuju kearah atas sebagai manifestasi menuju kemanunggalan terhadap sang Maha Kuasa. Ratusan bentuk dhapur sangat dapat mencerminkan apa yang dapat diharapkan sebagai sebuah keutamaan berbudi luhur, dapur Brojol misalnya, adalah sebuah pengejawantahan keinginan manusia untuk dapat lancar (mbrojol) dalam hal menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Lalu keris lurus yang dibahasakan dengan sebutan keris berdhapur ”bener” adalah sebuah simbolisasi tantangan untuk dapat mempertimbangkan segala sesuatu yang dialaminya dengan jiwa yang lurus (bener – pener).

Simbolisasi dari jenis dhapur sangatlah panjang jika diuraikan, tetapi ada beberapa pokok yang perlu dipegang antara lain dhapur Pandawa (luk 5) adalah simbol agar senantiasa manusia berwatak ”satria-pinandita” seperti pendawa lima yang dihayati sebagai sebuah rangkuman dalam hal kebijaksanaan bertindak. Watak ”satria-pinadita” bisa dibahas sebagai keadaan manusia ”pemimpin” atau sering disebut satria pinandita sinisih wahyu. Tuntunan untuk menjadi tokoh pemimpin yang amat sangat religius sampai-sampai di dalam kisah-kisah pewayangan digambarkan bagaikan seorang resi begawan (pinandita) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum/petunjuk Gusti Allah (sinisihan wahyu), dengan selalu bersandar hanya kepada kekuasaan Gusti Allah, bangsa ini diharapkan akan mencapai zaman keemasan yang sejati. Maka tak heran pada jaman kerajaan sering seorang raja juga disebut sebagai ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng ........, Senopati Ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panata Gomo, Kalifatulah Ingkang Kaping .........”. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai kepemimpinan diharapkan dapat selalu dipegang teguh sebagai seorang yang berwatak ’kesatria’ yang pemberani, berani marah, berani menegur, berani merombak dan berani bertindak serta berjiwa religius.

Simbol-simbol pada dhapur keris selalu menjadi ’pameling’ (pesan agar diingat) yang sangat penting dan perlu dilakukan semacam penyusunan dan pengelompokan atau penulisan kembali agar penggemar keris dapat memanfaatkannya sebagai sebuah ajaran.





Keris sebagai perpaduan material Ibu Bumi Bapa Akasa

Ketika sang empu mewasuh besi (ditempa untuk membersihkan besi) sekian ribu kali pukulan sebagai perlambangan ”tapisan gebagan” membersihkan diri. Manusia senantiasa harus eling dan selalu membersihkan diri untuk berbuat sesuai nurani yang positif. Apa yang disebut hasil bakal keris (kodokan) adalah sebuah pemahaman bahwa manusia diberi wadah dan manusia diberi kesempatan karena memiliki akal pikiran untuk dapat digunakan menuju kepada kesucian dengan perilaku berbudi luhur.

Maka empu kita yang menganut maguru alam selalu melakukan sebuah penyatuan atau dalam bahasa Jawa ’diwor’ – ’dimor’ yang kemudian disebut ’pamor’. Penyatuan dirinya terhadap api, maka sang empu seolah ikut beresonansi sebagai api, disinilah terjadi sebuah kekuatan ”Illahi” dimana sang empu menjadi sebuah media Allah. Penyatuan besi (pasir bumi) dengan benda angkasa (iron meteorite) telah dilakukan oleh mereka (para empu) sebagai sebuah perlambangan penyatuan Ibu Bumi dan Bapa Akasa. Dari langit dan dari bumi disatukan dalam tunggku api yang dikendalikan oleh resonansi penyatuan empu bersama api (kemanunggalan dalam keadaan berKetuhanan). Maka keris sebagai karya adalah merupakan ciptaan Tuhan melalui tangan manusia. Tak heran jika akhirnya diagungkan dan disakralkan. (Dang dahana bagni niraweh sara sudarma).

Prosesi pembuatannya yang selalu menyebut mantera berulang adalah seperti halnya trend pada masa kini aliran ’Gerakan New Age’ yang berkembang berupa religius barat yang meniru timur sebagai gerakan spiritual yang berkembang pada paruh kedua abad ke-20. ’Gerakan New Age’ berputar di sekitar "menggambarkan kesahihan spiritual metafisik tradisi di Timur dan kemudian menanamkan segala sesuatu menjadi kekuatan dengan pengaruh dari self-help seperti halnya pembacaan mantera berulang-ulang, motivasi psikologi, pencapaian kesehatan holistik, parapsikologi, penelitian kesadaran dan hingga pengkajian fisika kuantum". Hal ini bertujuan untuk menciptakan "spiritualitas tanpa batas atau dogma" sehingga dapat berdiri sebagai ajaran yang inklusif dan pluralistik. Satu lagi ciri utamanya adalah memegang "pandangan dunia holistik," demikian halnya seperti empu sebagai manusia yang menekankan bahwa Pikiran, Tubuh dan Roh untuk saling berhubungan dalam Kesatuan/Kemanunggalan dan persatuan seluruh alam semesta (manunggaling kawula Gusti). Lebih lanjut sebetulnya apa yang dilakukan empu telah mengangkat harkat manusia sebagai utusan sehingga sebenarnya prosesi yang panjang dalam pembuatan keris itu telah mencakup sejumlah bentuk ilmu pengetahuan dan pseudosains.

Maka dari itu ada sebutan ”Empu adalah pancer atau titik temu kemanunggalan antara yang tinemu ing nalar dan yang tan tinemu ing nalar” artinya bahwa dipercaya atau tidak dunia perkerisan memasuki keadaan penelaahan transcendental antara nalar dan tidak ketemu nalar dengan obyek yang diciptakan oleh utusan itu (empu).

Maka jika keris dianggap sakti, secara turun temurun baik itu melewati periode megalitik, hingga agama-agama jelas sekali bahwa keris tetap universal dari jaman ke jaman. Hakekat dari apa yang terkandung merupakan makna penyempurnaan dalam perjalanan olah spiritual manusia menuju kesempurnaan hidupnya yang tercermin dari kekuatan prosesi pembuatan keris tersebut.

Prosesi keris melalui apepayung budi

Menelaah tiga bagian keris (Peksi – Gonjo – Wilah), menjadi sebuah pemahaman simbol dari Yoni sebagai asal muasal atau alam Purwa, dan Gonjo atau Linggam yang melahirkan pemaknaan alam madya dan selanjutnya menuju ke pucuk bilah sebagai pemaknaan alam wusana. Yaitu sebagai penghayatan manusia sebelum berwujud, masih dalam alam purwa, yang perlu di hayati dengan merenungkan dari mana sebenarnya manusia ini berasal, kemudian dalam alam madya manusia bergumul dalam kehidupan masa kini yang harus dilalui dengan perenungan dan tindakan dengan segala kawicaksanan dan berbudi, hingga menuju kematian yang sempurna.

Orang Jawa lebih suka menelaah hal ini dengan beberapa anggapan bahwa manusia selayaknya berusaha menghayati semesta beserta isinya. Manusia diberi prabot komplit (lahir dan batin) oleh Tuhan YME dan dimana disadari derajat manusia lebih tinggi dari hewan. Manusia beradab adalah manusia yang berbudaya (culture men). Dalam falsafah Jawa inti dari peradaban itu secara bertahap dan naluriah digerakkan oleh kemauan manusia (niat) untuk: Titi mangerti pranataning WIJI (mengerti atau berusaha mengerti tentang asal usul manusia), Titi mangerti pranataning DUMADI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan yang tergelar pada jagat raya), Titi mangerti pranataning PAMBUDI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan hidup yang berbudi), Titi mangerti pranataning PAKARTI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan dari pekerti manusia). Kalau sudah mengerti ungkapan-ungkapan tersebut, maka semua yang ada di dunia ini akan menjadi alat manusia (gumelaring jagat dadi pirantining manungso).

Maka prosesi keris yang diwasuh (dibersihkan dengan tapisan gebagan) kemudian dibentuk sedemikian rupa memuat pesan-pesan yang tak lepas dari nilai-nilai luhur untuk menjadikan kita para penggemar keris, penghayat keris memiliki pegangan yang bukan berasal dari kekuatan Jin, setan atau pengertian yang menjerumuskan tetapi merupakan tauhid dari apa yang terkandung secara falsafati.

Dengan demikian memang sangat perlu penghayat keris mulai merangkum nilai-nilai keutamaan untuk pembangunan manusia berbudi luhur dan ikut memantapkan pembangunan karakter bangsa, yang sangat dibutuhkan pada masa kini. Mengingat konstelasi politik yang berkecamuk di negeri ini tampak sekali disebabkan pula oleh karena adanya krisis moral dan hilangnya ajaran atau pameling untuk berbudi luhur. 

Ricikan Keris (bagian-bagian keris)


RICIKAN KERIS adalah perincian dari bagian-bagian sebilah keris dengan istilah-istilah yang telah ada turun-temurun. Ricikan sebilah keris dapat dianalogikan dengan suku cadang atau komponen mobil. Di antara komponen mobil ada yang namanya piston, gardan, bumper, pelek, dashboard, altenator, dlsb. Demikian pula, tiap bagian keris yang berlainan bentuknya berlainan pula namanya.

Rincikan keris juga merupakan variasi dari sebilah keris untuk dapat disebut dhapurnya. Misalnya pada keris sederhana dhapur Brojol hanya memiliki rincikan Blumbangan atau pejetan saja. Sedangkan Dhapur Sepaner adalah memiliki rincikan sekar kacang, tikel alis, sraweyan, sogokan dan greneng. Setiap nama dhapur keris ditentukan oleh adanya Rincikan keris dan bilah lurus atau bentuk luknya.

Secara garis besar, sebilah keris dapat dibagi atas tiga bagian yakni bagian bilah atau wilahan, bagian ganja dan bagian pesi. Bagian wilahan juga dapat dibagi tiga, yakni bagian pucukan yang paling atas, awak-awak atau tengah dan sor-soran atau bidang bawah. Pada bagian sor-soran inilah ricikan keris paling banyak ditempatkan.

Nama-nama ricikan keris adalah:
1. Pesi
2. Metuk
3. Gonjo
4. Greneng
5. Rondo Nunut
6. Buntut Cecak
7. Punukan
8. Dho
9. Ri Pandan (8+9 = Ron Dho)
10. Tingil
11. Sraweyan
12. Bungkul
13. Janur
14. Sogokan (ada yang rangkap ada yang depan saja)
15. Poyuhan
16. Pejetan/Blumbangan
17. Gandik
18. Tikel Alis
19. Jenggot
20. Sekar Kacang atau Kembang Kacang
21. Jalen
22. Lambe Gajah
23. Pundak atau Sumping
24. Pudak Sa'tegal Depan
25. Pudak Sa'tegal Belakang
26. Adha-adha atau Geger Sapi
27. Lis-lisan
28. Gusen
29. Kruwingan atau Gulo Milir
30. Kruwingan Cucuk Manuk
31. Pucukan Mbuntut Tumo
32. Pucukan Anggabah Kopong
33. Sogokan Sampir atau Sinebo
34. Bawang Sebungkul
35. Sekar Kacang Pogok
36. Lambe Gajah Rangkep
37. Gonjo Wuwung
38. Gonjo Kelap Lintah
39. Gonjo Wilut
40. Kanyut
41. Wetengan Gonjo
42. Sirah Cecak
43. Buntut Cecak Sebit Lontar
44. Sirak Cecak Melinjo atau Nyangkem Kodok
45. Buntut Cecak Nguceng Mati
46. Gandik Pethuk atau Laler Mengeng
47. Mendak
48. Ukir atau Deder
49. Kinatah emas



Nama bagian-bagian atau Rincikan Keris ini digunakan untuk keris se Nusantara. Hanya sering ada perbedaan penyebutan dipengaruhi oleh bahasa lokal. Misalnya di Sulawesi menyebut Keris itu Sele atau Tappi, Gonjo adalah Kancing, Pesi disebut Oting. Demikian pula di Madura Pesi disebut Pakseh, Gonjo disebut Ghencah, bilah keris disebut Ghember sementara di Bali ada beberapa perbedaan pula menyebut Keris dengan Kadutan, Pesi disebut Panggeh, Gonjo disebut Ganje, Hulu keris disebut Danganan dslb.

Untuk pengetahuan perkerisan, baik sebagai kolektor atau pemerhati, ricikan keris walaupun merupakan pengetahuan dasar menjadi sangat penting karena setidaknya dapat untuk membedakan jenis-jenis Dhapur. Seseorang tidak akan mungkin mengetahui nama dapur bilamana ia tidak hafal terhadap ricikan keris ini.

Keris Pamor Meteor, dan Apa Meteor itu?


Bahan pamor dari iron meteorites Australia

Pengantar
Kita sering mendengar bahwa pamor keris dibuat dari bahan meteor. Kemudian kita juga sering mendengar bahwa meteor mengandung titanium (Ti). Kita tidak pernah jelas mulai kapan meteor dipergunakan menjadi bahan pamor. Dan apakah betul meteor mengandung Ti (titanium)? Ada beberapa revisi telah dilakukan dalam sebuah forum diskusi, yang menyatakan mayoritas meteor (irons meteorite) adalah mengandung kristal Fe/Ni (besi dan nikel). Dalam sejarah perkerisan, catatan yang bisa dipertanggung jawabkan adalah ketika meteor jatuh di desa Klurak di daerah Prambanan. Meteor ini sebetulnya tidak tunggal. Ada yang seukuran <1m3 (Kanjeng Kyahi Pamor) dan disertai dengan ratusan kerikil dan bebatuan yang tersebar di sekeliling area kubangan bahkan melintas sekian kilometer dari lokasi utama. Ada diantaranya yang seukuran buah kelapa (dihadiahkan kepada keraton Hamengku Buwana). Sri Susuhunan Paku Buwana X, konon menyimpan banyak sekali meteor sertaan dari pamor Prambanan dan disimpan dalam kantong-kantong kecil untuk dihadiahkan kepada mereka yang berjasa kepada Keraton. Meteor dianggap sebagai jimat yang terbaik dibanding benda-benda yang ada di bumi. Kepercayaan itulah yang menggugah para raja untuk menjadikan meteor sebagai bahan pamor. Sesuai filosofi ”manungaling kawula Gusti”, dimana meteor berasal dari bapa akasa, disatukan dengan besi (pasir besi dari ibu Bumi). Dalam dekade jaman Paku Buwana inilah jelas sekali bahwa meteor telah digunakan sebagai bahan pamor.

Meteor Prambanan jatuh pada pertengahan abad 18 (1749), dimasa pemerintahan Sunan Paku Buwana III, pada waktu itu hanya beberapa kerikil meteor dibuat untuk keris, terutama diserahkan kepada empu Brojoguna. Pada pemerintahan Sunan Paku Buwana IV, meteor Prambanan yang disebut Kanjeng Kyahi Pamor yang sebesar 1m3 itu mulai dipergunakan pula. Namun ini juga tidaklah dijelaskan secara rinci berapa banyak diambil untuk pembuatan keris, mungkin saja Paku Buwana IV hingga selanjutnya Paku Buwana IX dan X menggunakan batu-batu meteor sertaannya, karena pada waktu itu ratusan kerikil hingga meteor sebesar jeruk yang diperkirakan serpihan meteor dari meteor utama, dikumpulkan dari desa tersebut diboyong ke keraton dalam dekade hampir sepanjang tahun, para abdi dan penduduk melakukan pencarian terus menerus di sungai-sungai bahkan hingga mendekati areal Candi Prambanan. Bahkan perdagangan kerikil meteor terus berlanjut. Kepercayaan terhadap jimat meteor juga masih ada hingga kini.

Penggunaan pamor keris dari batuan kerikil meteor asal Prambanan tampaknya cukup masuk akal. Hal ini bisa kita simpulkan jika kita meneliti pada Kanjeng Kyahi Pamor itu, tampaknya tidak banyak bekas pahatannya.

Apa itu Meteor?
Meteorit adalah batu yang jatuh ke bumi dari ruang angkasa. Terdapat tiga jenis dasar: batuan, besi dan batuan besi atau stones, irons dan stony irons, yang masing-masing akan dibahas berikut ini.


Stones meteorite - Irons meteorite - penampang irisan Stony irons meteorite

Tetapi sebelumnya, dari manakah asalnya meteorit?
Mayoritas terbesar berasal meteor dari sabuk asteroida, daerah dengan jutaan serpihan batu yang mengorbit di antara Mars dan Jupiter. Serpihan-serpihan ini tidak berhasil membentuk sebuah planet, sebagaimana yang terjadi pada serpihan-serpihan lain di lingkungan planet lain yang jauh dari Matahari.

Beragam serpihan dari sabuk asteroida tersebut mempunyai orbit yang berbeda dari bentuk lingkaran sampai bentuk yang sangat membujur, selain itu juga mempunyai orbit yang tidak sama pada bidang datarnya. Seiring dengan berjalannya waktu, karena perbedaan orbit tersebut, terjadilah tabrakan serpihan yang mengakibatkan sebagian terlontar dari orbitnya yang semula pada sabuk asteroida dan memasuki orbit “lintasan bumi” yang membawanya ke bumi sebagai meteorit.

Walaupun kebanyakan meteorit berasal dari sabuk asteroida, beberapa dari serpihan itu sekarang diketahui berasal dari Mars dan beberapa dari Bulan kita. Meskipun demikian, asal muasal meteorit yang langka ini juga berhubungan dengan tabrakan antar serpihan yang terjadi di sabuk asteroida. Sama seperti serpihan asteroida masuk ke bumi, beberapa serpihan juga mempengaruhi Mars atau Bulan, bahkan dengan energinya bisa mencabut kepingan batu karang yang ada di Mars ataupun Bulan.

Saat kepingan-kepingan yang tercerabut itu bisa lepas dari areanya, mereka melayang dalam jalur orbit sampai mereka secara tak terduga tiba di bumi. Bagaimana kita tahu bahwa tipe langka ini dari Mars atau dari Bulan? Inti jawabannya adalah bahwa susunan kimia mereka berbeda dari susunan kimia meteorit yang berasal dari asteroida.

Batuan Meteor atau Stones Meteorite
Kebanyakan Batuan Meteor (Stones Meteorite) komposisinya yang terbanyak adalah mineral yang mudah ditemukan di bumi, seperti olivin, piroxin dan feldspar. Ketiganya merupakan silikat, yaitu mineral banyak ditemukan pada lava volkanik di bumi. Berdasarkan tekstur mereka, Stone Meteorite terbagi dalam dua jenis, jenis chondrit dan achondrit.

Dinamakan chondrit karena mereka mengandung “BB-like”, yaitu bidang yang seperti kaca (kristal kaca mirip kwarsa), yang disebut chondrule. Chondrule ini, berupa obyek kecil yang unik, tak pernah ditemukan pada batu karang yang terdapat di bumi, tampaknya telah terbentuk pada awal sekali, sama seperti masa pembentukan ”sistem solar” dengan matahari dan planet-planetnya. Untuk alasan-alasan yang tidak kita ketahui, titik-titik leburan yang terbentuk di dalam “awan debu” itulah yang kemudian akan menjadi ”sistem solar” kita. Meteorit-meteorit chondrit ini sering dipandang sebagai “primitif” karena batuan dari masa lampau ini telah mengorbit di ruang angkasa tanpa berubah, selama 4,5 milyar tahun sebelum sampai di bumi.

Dinamakan achondrit –batuan yang lebih langka lagi – karena mereka tidak mengandung chondrule. Achondrit ini telah mengalami banyak perubahan, berbeda dengan batuan chondrit yang tak berubah dan “primitif” yang disebut di atas. Pada kebanyakan kasus, terjadinya peleburan pada keseluruhan batu pada masa lampau itu menyebabkan chondrule yang ada jadi hilang.

Susunan kimia yang sama masih ada, tapi chondrule “BB-like” telah digantikan oleh tekstur yang mempunyai komposisi seperti mosaik dari kristal yang saling mengunci. Tekstur yang baru ini mirip bebatuan igneous, yang terbentuk di bumi, karena mereka mengkristal dari bentuk cair. Jadi dimana achondrit terbentuk? Jawabannya ada pada asteroida yang besar dan planet-planet. Banyak asteroida tumbuh cukup besar dan mempunyai bahan bakar radioaktif yang memadai, sehingga peleburan terjadi bahkan pada saat mereka belum mencapai ukuran planet.

Asteroida terbesar yang diketahui adalah berdiameter sekitar 600 mil. Sebagai ikhtisarnya, bayangkan sebuah asteroida yang komposisinya terdiri dari chondrule dan “debu primordial” yang tumbuh cukup besar untuk melebur, karenanya membentuk kristal achondrit saat pendinginan. Sebagai tambahan pada asteroida, meteorit-meteorit Mars dan Bulan yang kita kenal, semuanya achondrit karena mereka berasal dari obyek-obyek besar dimana terjadi aktifitas volkanik, sama seperti yang terjadi di bumi.

Logam Meteor atau Irons Meteorite
Logam Meteorit komposisinya kebanyakan dari campuran logam yaitu yang menonjol adalah besi (Fe) dengan sejumlah variasi nikel (Ni) yang larut dalam besi. Campuran dari kedua unsur yang berbeda ini, Fe dan Ni, yang biasanya ditemukan pada besi adalah kamacit (campuran Ni rendah) dan taenit (campuran Ni tinggi). Banyak besi terdiri dari dua jenis campuran ini yang bersama-sama telah mengkristal menyebabkan pola geometris yang dinamakan bilangan Widmanstatten. Mineral berikutnya yang biasa terdapat pada logam adalah troilit, sejenis besi sulfida, yang jarang terdapat di bumi, yang biasanya menjadi tonjolan bila bercampur dengan Fe dan Ni. Menurut SG. Nielsen yang melakukan penelitian bersama M. Rehkamper dan A. Halliday melalui cosmochemists bahwa terjadinya kristal Fe-Ni tersebut karena adanya ikatan radionuclide As, Ti dan Pb. (penelitian pada jenis meteor Toluca dan Canyon Diablo).

Klasifikasi ilmiah dari logam yang terdiri dari beberapa macam jenis merupakan hal yang rumit dan sulit karena hal ini berdasarkan dari jumlah kandungan elemen yang terlacak dan tidak kasat mata. Klasifikasi berdasarkan hal yang tampak, seperti halus, sedang atau kasar, juga digunakan pada kelompok yang dinamakan oktahedrit (dimana kamacit dan taenit ditemukan bersama-sama). Disebut klasifikasi ilmiah karena berasal dari usaha untuk menentukan logam yang berasal dari asteroida yang sama.

Bagaimana terbentuknya meteorit-meteorit dengan komposisi sepenuhnya campuran Fe/Ni?
Untuk memahami hal ini, bayangkan massa karang yang besar di ruang angkasa, yaitu sebuah asteroida, mengalami peleburan menyeluruh. Pada saat ini terjadi, campuran logam berat masuk ke pusat massa, menggantikan obyek-obyek yang lebih ringan yang terangkat ke atas dan mendekati permukaan. Contohnya, pikirkan tentang planet bumi yang mempunyai pusat logam dan sebuah lapisan dan kerak di atasnya. Setelah pemisahan campuran logam berat yang ada di pusatnya dengan zat silikat yang lebih ringan tersebut, terjadilah tabrakan yang menyebabkan hancurnya asteroida dan berserakan menjadi ribuan kepingan. Beberapa dari keping yang terserak itu menjadi campuran Fe/Ni dari pusat sebelumnya dan beberapa lainnya akan menjadi mineral silikat yang semula adalah lapisan di atasnya. Hal ini mengakibatkan banyak serpihan pada sabuk asteroida adalah merupakan campuran logam yang Fe/Ni nya paling dominan.



Batuan Logam Meteor atau Stony Irons Meteorite
Batuan Logam merupakan kombinasi dari zat batu dengan campuran logam. Pada kelompok yang agak besar ini, ada 2 tipe yang cukup berbeda, disebut pallasit dan mesosiderit. Meskipun keduanya merupakan kombinasi batu dan logam, asal muasal keduanya benar-benar berbeda.



Batu bintang dari Kalimantan jenis yang sering dibuat mandau
(koleksi Empu Subandi Suponingrat)


Pertama, kelompok pallasit terdiri dari sebagian besar mineral silikat olivin (disebut permata peridot) yang bercampur dengan campuran Fe/Ni.

Bagaimana pallasit terbentuk?
Seperti pada logam meteorit (iron meteorite), bayangkan peleburan menyeluruh dari sebuah asteroida dengan perpecahan yang biasa terjadi dari logam ke pusatnya. Perpecahan itu pasti tidak sempurna sebelum pendinginan sehingga masih ada mineral silikat, seperti olivin, yang tertinggal di dalam logam tersebut. Ini merupakan material yang kemudian akan menjadi pallasit. Sama seperti pada logam, perpecahan dari asteroida yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya serpihan, yaitu pallasit bersamaan dengan unsur-unsur lainnya yang berasal dari pusatnya yaitu logam. Pada faktanya, seringkali meteorit yang sama ditampilkan kembali oleh kepingan-kepingan dari karakter pallasit yang biasa dan oleh besi yang mengandung sangat sedikit olivin bahkan tanpa olivin sama sekali.

Mesosiderit juga merupakan kombinasi dari material berbatu dengan logam campuran. Akan tetapi berbeda dengan pallasit, material batuannya bukanlah olivin tetapi komposisinya terdiri atas beragam jenis bebatuan, dimana bentuk serpihan pecahannya sangat tidak beraturan.

Bagaimana mesosiderit terbentuk?
Sekali lagi bayangkan sebuah asteroida dalam hal ini sebuah logam: perpecahan batu yang terjadi setelah peleburan. Pada waktu kemudian yang agak lama, terjadi goncangan asteroida, menyebabkan terjadinya ribuan serpihan yang mengarungi ruang angkasa seperti koleksi yang lepas, mirip sekali seperti awan serpihan-serpihan. Berangsur-angsur serpihan-serpihan ini menarik satu sama lain karena kekuatan gravitasi, dan menjadi satu kembali, tetapi sekarang sebagai kombinasi yang acak, logam di pusat dan lapisan silikat tidak seperti lapisan yang tertata seperti pada bentuk asteroida yang semula.

Keris berpamor Meteor
Keris yang telah dibuat dari sejak jaman purwacaritra, Mataram Hindu hingga detik ini, sangatlah sulit dilacak apakah benar bahan pamor yang menyertainya dibuat dari bahan meteor. Dibeberapa pihak, mereka yang sangat memahami tangguh Paku Buwana, bisa membedakan jenis pamor dari meteor dan yang bukan. Karena pada tangguh Paku Buwana (PB) pun tidak semua keris berpamor meteor. Tetapi justru kondisi itulah yang menghasilkan pedoman, yaitu dengan memperbandingkan setiap keris tangguh PB. Pengamat dan kolektor yang sangat memahami tangguh PB antara lain adalah Ir. Haryono Haryoguritno, KRA. Sani Gondoadiningrat dan beberapa senior perkerisan seperti Ir. Brotohadi Sumadyo, Supranto dlsb, telah terbiasa menduga (bukan memastikan) mana keris yang berpamor meteor dan yang bukan. Ada beberapa kesimpulan yang perlu diperhatikan dan yang mungkin bisa dijadikan acuan adalah bahwa jika mengamati tangguh PB yang menggunakan meteor pastilah pamornya bernuansa. Ada keabu-abuan dan ada yang jernih (deling). Pamor nikel biasanya mati (tidak bernuansa) atau orang Jawa menyebutnya dengan menteleng (melotot) alias jreng.


Pasopati PB X dan Nom-noman Cirebon koleksi Hengky Joyopurnomo;
KK Katiban (TJ); pamor Nogorangsang PB IX Singowijoyo koleksi KRA. Sani Gondoadiningrat.

Kenapa pamor meteor bernuansa?
Seperti dijelaskan diatas bahwa bahan irons meteorite atau stony irons meteorite bisa digunakan menjadi bahan pamor keris, terutama karena adanya kristal Fe/Ni yang banyak, disertai unsur lain seperti adanya phospor, senyawa Ti, As, Pb sebagai isotop pengikatnya. Ketika dalam prakteknya menjadi pamor keris, unsur-unsur heterogen itu tidak hilang sama sekali sehingga alur pamor meteor akan bernuansa. Pamor ini secara visual ada warna abu-abu dan ada kehitaman serta ada pula bagian yang putih cemerlang, yang jika diamati tampak aura sinar warna-warni. Hal ini menjadi sangat jelas jika keris diminyaki dan dipandang dibawah sinar matahari. Empu Djeno Harumbrojo (alm), menyebutnya dengan kata ”sulak” atau bias pelangi warna.

Namun demikian pada prakteknya, pegiat keris dan seniman keris Kamardikan yang mulai mengolah pamor dari bahan meteor, tetap harus melakukan eksperimentasi terutama pada treatment akhir setelah finishing touch bentuk keris. Karena tampaknya empu jaman dahulu pun melakukan treatment termasuk melalui cara ”quenching” atau sepuh, kamalan (merendam pada air welirang) dan bahkan mutih keris dan mewarangi dengan banyak cara seperti cara di’nyek’, untuk menimbulkan estetika dari bahan meteor yang diharapkan memberi keterpukauan pada detail pamornya, dan bukan hanya pada jenis motifnya.

Pamor, cabang Seni yang Awalnya Tanpa Disengaja


Nama keris Kanjeng Kyahi Katiban adalah hasil eksperimentasi Toni Junus, 2009
Dhapur Jaka Wuru – Kamardikan Mutrani.
Pamor dari bahan iron meteorite – Australia.
Finishing - Sepuh dengan mantra 'panguripan'.
Koleksi : Branko Windoe.



Keris yang bagus sesuai fungsinya sebagai senjata adalah tidak mudah patah atau bengkok. Ini juga merupakan hasil evolusi-progresif dari Empu dan para pande besi. Mereka melakukan mixing atas berbagai jenis logam, setidaknya besi, baja dan logam lain. Sadar akan kelemahan masing-masing logam, maka dibuat percobaan mencampur berbagai jenis logam untuk menghasilkan senjata yang unggul dari sisi material. Baja yang keras, tajam, namun getas (mudah patah), diapit oleh logam lain yang lentur (seperti lapisan besi lunak dan nikel) untuk menutupi kelemahan baja yang keras dan mudah patah tersebut. Karena susunan berlapis itu keris memiliki keistimewaan lain, lapisan besi lunak dan nikel menimbulkan konfigurasi yang indah dan itulah yang disebut ‘pamor’. Kata ‘pamor’ berasal dari bahasa Jawa ‘amor’ atau ‘diwor’ yang artinya ‘dicampur’ atau ‘disatukan’. (Kutipan : A.Ardiasto).

Awalnya motif pamor tidak beraturan, tidak kontras dan muncul tanpa disengaja. Garis-garis itu merupakan layer baru akibat adanya proses over-reaktif antara dua lapis bahan yang tidak murni yang terkena bara api dan pukulan. Layer itu memiliki lapisan grafis disebut ‘pamor sanak’ dan kemudian menjadi seni tersendiri. Oleh keadaan itu muncul ide dan metode mengatur terjadinya alur lapisan grafis (pamor sanak) dengan cara penambahan nikel atau logam yang lain. Beberapa bahan besi (heterogen) yang digunakan sering pula setelah diwarangi membentuk nuansa samar-samar keputihan tidak berupa alur yang jelas, lebih melebar seperti ‘awan di langit’ disebut pamor “ngapuk” (dari kata ‘kapuk’ = kapas; bhs.Jw).

Catatan-catatan etnografis masa lalu menunjukan bahwa empu keris atau pande besi secara khusus memiliki kedudukan penting dalam masyarakat karena dianggap memiliki kesaktian dan tidak sembarangan atau setiap orang dapat menjadi empu. Oleh karena itu sangat menarik bahwa, seperti disebutkan di dalam kitab Slokantara, pande besi termasuk salah satu golongan masyarakat ‘candala’. Tempat pembuatan benda-benda logam pada abad ke 9 di sebut ‘gusalyan’ dari istilah ‘paryyen’ (jawa kuno) berubah menjadi ‘paron’. Tempat-tempat tersebut dianggap sacral karena memiliki aspek simbolik – religius dimana ‘paron’ (landasan tempa) adalah lambang bumi dan ‘palu’ merupakan jatuhnya bahan besi (meteor) yang ditumbukkan, sebagai lambang terrestrial dan celestial yaitu simbolik dari persatuan “bapa akasa” dan “ibu bumi”. Artinya dalam pengertian ini adalah, bahwa selain fungsi teknomik dan sosioteknik, keris juga dianggap sebagai benda sacral yang dihasilkan dari pemahaman religius tentang ‘manunggaling kawulo gusti’. (kutipan dari makalah Prof. Dr. Timbul Haryono).

Penggunaan logam meteorit itu memang dilakukan secara sengaja terutama ketika proses spiritual yang mengiringi penciptaan para Empu ikut memberikan aksentuasi, yaitu adanya kepercayaan manusia (maguru alam pada masyarakat agraris) yang berdasar pada filosofi ‘manunggaling kawula Gusti’ tersebut. Filosofi Perrestrial itu tidak hanya milik masyarakat kita, tetapi merupakan sebuah gejala pada semua masyarakat atau manusia di seluruh dunia, yang menyadari akan keberadaannya dalam ruang lingkup kehidupannya berinteraksi dengan alam.

Kemudian penyatuan material logam meteorit tersebut pada ‘keris’ dianggap sebagai keterwakilan adanya kekuatan yang dahsyat. Kini, kepercayaan terhadap kekuatan yang ada pada keris itu memperkuat eksistensi keris, dengan sebutan adanya tuah, khasiat, yoni, daya magis, dlsb.


Penyatuan material logam meteorit tersebut pada ‘keris’ dianggap sebagai keterwakilan adanya kekuatan yang dahsyat.
Campo del Cielo – Argentina dipegang M. Sujono; Toluca dari Mexico dan Nantan Iron Meteorite dari Guang Ji - China. Koleksi : TJ.



Hasil ciptaan konfigurasi grafis dari lapisan pamor (meteorit) kemudian memiliki sebuah nilai estetika tersendiri apalagi setelah proses warangan. Dari beberapa sumber diketahui ‘warangan’ adalah senyawa kimia arsenic As2S3 dibawa berasal dari daratan Indochina.


Warangan atau kristal senyawa As2S3 dalam lodong (kaleng kaca).

Warangan (bie-soan; bhs. Cina) sering dipergunakan sebagai obat atau bahan ramuan untuk menyembuhkan luka dan mengurangi rasa sakit akibat asam lambung. Para tabib (shines) di daratan Indochina sering mengobati pasien ambeien dengan mengoles serbuk warangan. Selain itu warangan muda yang ditumbuk (digerus) dan diaduk dengan air 1 sendok teh, ditelan untuk menyembuhkan sakit maag, cara kerja dalam proses penyembuhannya hampir mirip dengan strocain pada obat-obatan modern.

Warangan yang dicampur asam citrate akan bereaksi sebagai senyawa kimiawi anti korosi pada besi. Senjata tua dari belahan Asia seperti Pokiam (pedang China) dibasuh warangan agar tidak berkarat. Transfer teknologi tentang asal-usul penggunaan anti korosi dengan warangan pada para Empu memang tidak pernah diketahui dengan pasti, apakah berasal dari China atau memang para Empu Nusantara jaman dahulu yang menemukannya. Selanjutnya, terjadinya pemahaman nilai yang kompleks dalam bentuk akulturisasi dan sinkretisasi kepercayaan ke-Tuhanan mengangkat keris untuk di’agung’kan. Maka, di wilayah Nusantara terutama di Jawa dikenal adanya tradisi jamasan pusaka atau membersihkan pusaka, biasanya dilaksanakan pada bulan Maulud atau bulan Suro.

Jadi, dapat dirunut dan disimpulkan tujuan mewarangi keris awalnya adalah proses teknis untuk anti karat, yang berkembang menjadi media estetika (seni pada konfigurasi pamor) dan seterusnya kemudian berkembang pula adanya sebuah tradisi atau upacara. Hal ini karena keris mengalami pergeseran nilai dari sebuah senjata teknomik – sosioteknik – ideologis, menjurus sebagai benda khusus yang disakralkan, di-agungkan bahkan menjadi benda yang dipercaya sebagai jimat.

Sekarang eksistensi keris dapat dianggap sebagai benda budaya. Benda yang perjalanannya tak lepas dari sentuhan aspek sosiologis - etnografis, menjadi sebuah warisan budaya dimana UNESCO memberikan penghargaan berupa proclaime-nya sebagai world heritage karya manusia.

Untuk menampakkan alur pamor itu keris direndam cairan warangan (campuran kimia arsenic As2S3 dengan asam dari jeruk nipis C3H4OH). Cairan warangan yang sudah bereaksi dengan asam akan melindungi besi dari korosi, dan merubah warnanya menjadi kehitaman. Sehingga alur pamor akan lebih tampak dengan tampilan putih keabu-abuan karena jenis unsur logam bahan pamor seperti unsur Nikel, Zink, Paspor, Allumunium yang terkandung tidak bereaksi terhadap warangan dan tidak berubah warnanya. Sedang besi akan menjadi hitam. Setelah diwarangi alur pamor akan lebih tampak kontras bisa dibedakan oleh penglihatan (lihat gambar paling depan pada naskah ini).


Empu KRT. Subandi Suponingrat dalam pameran di Taman Ismail Marjuki – Jakarta (2009). Mengolah iron meteorite menjadi seni Pamor!

Pada saat sekarang ini, para pecinta keris dan tosanaji dapat menikmati keindahan seni pamor yang ada pada keris-keris. Beratus bahkan mungkin ribuan pattern (motif pamor) telah diciptakan oleh para empu, baik secara sengaja (Bhs.Jw.; "anukarto wirasat" - dirancang) atau tidak disengaja (Bhs. Jw.:"Jwalono" - unpredictable). Semua motif itu, ada yang bisa dilaksanakan oleh para seniman keris jaman sekarang, namun diantaranya juga tidak bisa dibuat ulang karena tiada kejelasan dan contoh barangnya. Seperti pamor 'jarot asem', 'guntur gunung' dan beberapa jenis lainnya, dimana pada buku-buku tua hanya dibuat sketsnya (gambar tangan), sehingga meragukan apakah betul pamor semacam itu pernah ada.
Salam Budaya.

Keris dan tantangan para pelestari Belambangan

Blambangan
- Sejak kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1527, Blambangan berdiri sendiri, namun dalam kurun waktu dua abad lebih (antara tahun 1546-1764) menjadi rebutan kerajaan di sekitarnya.

- Antara lain kerajaan Demak dan Mataram di Jawa Tengah, juga kerajaan di Bali (Gelgel, Buleleng dan kemudian Kerajaan Mengwi) bergantian menyerang Blambangan dalam kurun dua abad itu.

- Selama 42 tahun (1655 sampai 1697) terjadi 4 kali pemberontakan, dan 4 kali perpindahan ibukota. Kedudukan istana di Kedawung dipindahkan ke Bayu (1655), kemudian ke Macanputih dan akhirnya ke Kutalateng.

- Selanjutnya perang yang berkepanjangan mengakibatkan istana pindah lagi ke Ulupampang, dan akhirnya ke Banyuwangi pada tahun 1774.

Blambangan dalam kerahasiaan
- Blambangan mentorehkan gejolak politik yang sangat ruwet dan tidak memiliki peninggalan-peninggalan penting yang dapat menyingkap kesejarahannya.

- Tulisan-tulisan tentang Blambangan tercampur aduk dengan "mitos" dan legenda, fakta sejarah sangat sulit dirangkai. Padahal Blambangan sejak lama mendapat perhatian penulis asing. Brandes menulis dalam tinjauan filologi pada 1894, Pigeaud pada tahun 1932. Ann Kumar pada 1979, Winarsih Arifin pada tahun 1980, dan Darusuprapto menulis 1984. Semuanya tidak berani masuk dalam tulisan sejarah.

Tahun 1927, J.W. de Stoppelaar berhasil menyelesaikan tulisannya, namun dalam bidang hukum adat.

Kemudian Atmosoedirdjo menulis kajiannya dalam bidang yang sama pula (hukum Adat) tahun 1932.

Hasil kajian mengenai Blambangan dengan demikian terbatas pada dua bidang ilmu, yaitu Filologi dan Hukum Adat. Keduanya di luar bidang Ilmu Sejarah.

Tahun 1923 ada penulis C. Lekkerkerker (nama samaran) memberanikan menuliskan sejarah Blambangan.

Blambangan sebagai daerah otonom
Bukti autentiknya adalah Prasasti Gunung Butak 1294 M, menyebutkan perjanjian antara Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit dengan Arya Wiraraja yang telah banyak membantu dalam mendirikan kerajaan Majapahit bahwa "pulau Jawa akan dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing mendapat sebagian".
Dalam perjanjian itu Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas wilayah Lumajang Utara, Lumajang Selatan dan Tigang Juru yang semua itu menjadi wilayah yang dikenal dengan Blambangan. Arya Wiraraja sebagai adipati pertama. (C. Lekkerkerker, 1923:220).

- 16 tahun Arya Wiraraja memerintah Blambangan kemudian digantikan oleh Arya Nambi (1311-1331 M); di Majapahit, juga terjadi pergantian kekuasaan Raden Wijaya kepada anaknya, Jayanegara.

- Jayanegara, tidak seperti ayahnya, ia melakukan penindasan dan menyengsarakan rakyat.

- Oleh karena itu 1316 M, Arya Nambi menyerang Jayanegara, serentetan peristiwa yang kemudian berulang terus menerus menjadi pertarungan antara penguasa pusat dan penguasa Blambangan.

- Hubungan Blambangan-Majapahit keruh ketika Bhre Wirabumi, anak Hayam Wuruk dari selir, bertahta di Blambangan (1364-1406 M) menentang pusat, perang Paregreg meletus. Namun Bhre Wirabhumi terbunuh pada 1328 Saka (1406 M) oleh prajurit pusat pimpinan Wikramawardhana.

Blambangan dan pengaruh luar
- Haagerdal (1995:106-107) dan Beatty (2001:17) menyebut bahwa Blambangan menjadi tempat pengungsian bangsawan dan cendekiawan Majapahit yang melarikan diri karena Majapahit juga semakin tak menentu, mereka mendekati Bali untuk membangun aliansi.

Pengaruh budaya Mataram Islam
- Pada tahun 1639 M, Mataram di Jawa Tengah berhasil menaklukkan Blambangan; rakyat Blambangan banyak yang terbunuh dan dibuang. (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75).

- Dibawah kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai masuk Islam, namun tidak terjadi pergeseran struktur sosial dan kebudayaan, oleh karena kuatnya adat Blambangan (suku/wong Using) yang terus dipertahankan.

Keris Blambangan dan pengaruh jamannya
Keris Blambangan mengalami tiga (pengaruh) jamannya :
- Keris Blambangan dalam pengaruh Majapahit.

- Keris Blambangan dalam pengaruh Mataram dan Madura, karena Blambangan saling membahu dengan Madura dimana merasa sehati dalam pemberontakan Trunojojo (melawan Amangkurat).

- Keris Blambangan dalam pengaruh Bali, ketika jaman keemasan Dalem Waturenggong yang makmur, dan kerajaan Gelgel meluas ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalam bidang seni dan kesusastraan mencapai puncak keemasan.

Adanya indikasi terpengaruh Bali
Pada saat Dalem Ngulesir menjadi raja, pusat pemerintahan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel (Sweca Pura).
Dalem Ketut Semara Kepakisan pada tahun Saka 1305 (1383 M) adalah satu-satunya raja dari Dinasti Kepakisan yang sempat menghadap Raja Sri Hayam Wuruk di Majapahit. Beliau mendapat hadiah keris Ki Durga Dungkul (wilut), Ki Bengawan Canggu kemudian Ki Sudamala keris ini masih disimpan di Puri Karang Asem berbentuk relief berserat sanak.
Dalem Ketut Semara Kepakisan dalam perjalanannya singgah lama di Blambangan sebelum kembali.

Keris Blambangan dan ciri-cirinya
Menurut buku kuno : Gonjo sebit rontal; gandik agak pendek dan miring (doyong); Sogokan pendek dangkal (cekak); Luwes walau tidak rengkol luknya.

Analisa dari realita sejarah:
1. Keris Blambangan era Majapahit, Tidak berbeda jauh dengan tangguh Majapahit, empu yang tercatat a.n: empu Bramakedali, Kekep, Luwuk, Kebolungan, Ki Pitrang/Rambang dan Jaka Sura (anak Pitrang). Ada catatan bahwa karya empu Pitrang paling tersohor, biasanya bilahnya gilig (wuwung), pamornya nyekrak (miring) dan bentuknya luwes, luknya rengkol sedang.



Gonjo Sebit Rontal Gandik Pendek Miring


Karya Pitrang/Ki Rambang atau Supa Mandrangi - Pangeran Sedayu


Gandiknya miring, bilah wuwung (gilig)


Kembang kacang nggantung Lambe gajah diatas tidak landai


2. Era keris Blambangan dalam pengaruh Mataram dan Madura. Ciri-cirinya jika memakai sogokan agak lurus dan dangkal, luk pertama tinggi, sering luknya datar. Besi dan pamornya menyerupai bahan besi keris Tuban, grenengnya seperti keris Madura, secara keseluruhan seperti Mataram, mungkin keris Blambangan menjadi patron keris Mataram, atau sebaliknya, bedanya pada ukuran bilahnya lebih panjang (corok). Jika bergandik naga, biasanya naga primitif.


Lihat rancang bangun Keris Madura dan keris karya Jaka Sura

3. Era keris Blambangan dalam pengaruh keris Bali. Ciri-cirinya mirip keris Bali, namun bahan besi dan pamornya seperti bahan keris Jawa dan penampilannya tidak licin seperti keris Bali. Pamornya mirip bahan pamor tangguh Tuban, grenengnya seperti greneng Majapahit, namun rincikan lain seperti kembang kacang dan lambe gajah seperti ciri keris Bali.


Pengaruh Bali - besi mirip bahan keris Tuban

Akan kemanakah keris kamardikan gaya Blambangan?
Para pelestari keris sering ingin mencari gaya spesifik kedaerahannya, namun keris tangguh Blambangan berdiri dalam berbagai pengaruh kekuasaan masa itu. Hal ini menjadi tantangan bagi pelestariannya.

Namun ada hal yang perlu dipertimbangkan pula adalah bahwa keris dalam kenyataannya memiliki nilai non-bendawi yang harus diperhatikan dan dilestarikan.

Selain menciptakan keris unggul dalam segi bentuknya, sebagai artefak budaya perlu dipahami adanya 7 (tujuh) aspek nilai non-bendawi keris yang harus dilestarikan :

1. Kesejarahan; 2. Fungsi Sosial; 3. Tradisi; 4. Filosofi; 5. Mistik/magis; 6. Seni/kesenirupaan; 7. Teknologi

Aspek Kesejarahan
Secara ilmiah, keris selalu berkaitan dengan artefak budaya seperti relief pada candi, misal candi Sukuh, Penataran, Borobudur dll,
Kata kris telah tertulis dalam Prasasti Rukam, Prasasti Dakuwu dll,
Keris ditemui dalam buku sejarah, BABAD, kisah-kisah Legenda, buku-buku Padhuwungan dll.

Sudut pandang pelestarian keris kamardikan dapat mencari sumber dari aspek kesejarahannya.

Aspek Fungsi Sosial
Awalnya sebagai senjata tikam, untuk perang campuh satu lawan satu.
Bergeser menjadi jimat/piyandel/pusaka yang menjadi keyakinan.
Karena campur tangan raja (kekuasaan), keris berfungsi sebagai penanda status sosial, kepangkatan, penggolongan profesi dll.
Keris sebagai pelengkap busana.
Cinderamata persahabatan antar kerajaan.

Keris Kamardikan perlu dicari kemanfaatannya pula.


Relief di Candi Panataran (1347 SM) - dulu keris sebagai senjata tikam.


Sekarang sebagai pelengkap busana, keris semakin dibutuhkan oleh karena kesadaran terhadap budaya dan jati diri bangsa.

Aspek Tradisi
Adanya tradisi pemberian keris kepada menantu lelaki yang disebut “kancing gelung”.
Sebagai legitimasi estafet pelimpahan kekuasaan. (Misal keris Kyai Joko Piturun, Kyai Plered di keraton MATARAM).
Tradisi menjamas pusaka di bulan Suro atau Maulud dan kirab pusaka.
Tradisi membangkitkan kembali kekuatan (tuah) keris seperti upacara ‘Sidhikara Pusaka’ dan Pasupati/Tumpak landep (di Bali).

Perlunya melestarikan tradisi perkerisan dalam memberi bobot budaya pada keris kamardikan.


Upacara Pasopati/Tumpek Landep 2007 di Bali

Aspek Filosofi
Adanya ungkapan : “curigo manjing warangka, warangka manjing curigo”, filosofi menunggaling kawula Gusti.
Makna bentuk bilah (dapur) dan makna motif pamor sebagai pengharapan dapat tercapainya suatu tujuan.
Adanya penandaan dari empu untuk menuangkan pesan tertentu (semiotik).

Keris kamardikan harus memiliki konsep dan filosofi yang argumentatif.


Motif Pamor memiliki makna sebagai pengharapan dapat tercapainya suatu tujuan.

Aspek Mistik/Magis
Karena kekaguman manusia saat itu, terhadap penemuan teknologi besi yang dianggap sebagai ‘inspirasi dewa’ dan prosesi pembuatan dengan diiringi upacara–upacara.
Pengagungan terhadap profesi para empu (panday wsi) berlanjut karena para Ksatrya dan Raja membutuhkan senjata ampuh, dan para empu dianggap sakti.
Pengagungan ini melahirkan budaya spiritual ketika peristiwa-peristiwa gaib bersentuhan dalam masyarakatnya.

Proses penciptaan keris kamardikan
perlu adanya ritual atau penyertaan do’a yang bertujuan untuk kebaikan manusia.

Aspek Seni/Kesenirupaan
Bentuk keris yang a-simetri dan unik, tiada duanya di dunia.
Nilai harmoni yang sanggup dimuati oleh “kebutuhan teknomik”, keris dibuat condong dan berluk untuk memaksimalkan fungsinya sebagai senjata tikam.
Keris merupakan media ekspresi yang dituangkan dalam bentuk bilah (dapur), motif-motif pamor, rancang bangun dan variasinya, serta kelengkapan sarung dan asesorinya sebagai media seni.

Seni keris kamardikan harus kreatif untuk konteks kontemporer, dan harus tepat pakem jika dalam konteks konvensional (mutrani keris tangguh tua).


Dhapur keris merupakan media ekspresi yang dapat dituangkan dalam bentuk-bentuk bilah (dapur).

Aspek Teknologi
Terdapat banyak hal yang menjadi kekaguman para peneliti asing, misalnya :
- Pengadaan material (bahan dari meteor jatuh).
- Teknik tempa penyatuan logam heterogen secara hand-made yang merupakan metallurgy kuno sebagai unggulan yang tiada duanya.
- Teknologi kuno ’pengerasan’ (karburasi/nyepuh) besi low carbon menjadi high carbon yang keras/tajam tampaknya memiliki kekayaan variasi teknik dan rahasia yang belum diketahui secara teknologi modern. (Prof. Dr. Mardjono Siswosuwarno - ITB).

Perlu pengadaan material bermutu, serta penjiwaan yang dalam dan sakral, walau telah menggunakan modernisasi peralatan.

Dengan semangat membara, tulus dan sadar budaya. Pelestarian akan berlanjut hingga anak cucu kita, keris sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Nusantara, tidak lagi dikawatirkan punah.
Terima kasih kepada teman-teman yang koleksi kerisnya terpampang disini, etikad pembuatan makalah ini adalah untuk sebuah kemanfaatan bersama.